Sunday, August 14, 2005

Belimbing Bersujud

LANGIT di timur belum tampak bercahaya, namun gema shubuh sudah selesai dikumandangkan muadzin di semua penjuru Bumi Tanjung Kasih. Eyang masih duduk di mimbar mushala rumah kami. Satu demi satu penghuni rumah salam sungkem padanya. Eyang manggut-manggut dengan wajah sumringah, walau kedua matanya sudah lamur untuk bisa melihat jelas siapa yang ada di depannya.

Hari ini semua anak cucunya sudah berkumpul di rumah teduhnya. Aku jadi ingat saat aku masih jadi Zahra kecil, yang selama tujuh tahun hidup bersama Eyang di desa ini. Eyang paling suka menyanyikan gending ilir-ilir, yang didendangkannya saat sore menjelang maghrib, di beranda rumah sambil menatap hijaunya sawah dan liuk dedaun nyiur bersama bebatang padi. Gending itu, bahkan, sempat membuat aku bosan dan penasaran, "Mengapa harus ilir-ilir yang menjadi favoritnya? Mengapa tidak dandang gulo atau mocopat saja yang lebih seru, tentang sengketa jati diri kompeni dan kaum pribumi?"

"Cah angon, cah angon… pene'no blimbing kuwi…," begitu ia bersenandung.
"Kenapa harus pohon blimbing, Yang? Pohon durian saja, buahnya lebih enak!"
"Karena blimbing itu bergigir lima, yang artinya beragama, cah ayu."
"Emang blimbing punya agama? Agama apa Yang?"
"Bukan blimbingnya yang punya agama, tapi yang manjatnya, Zahra!"

Eyang tersenyum menatapku. Tampak giginya yang mulai tanggal satu persatu. Tapi, Eyang tetap tampak gagah di mataku. Walau usia telah mengantarnya ke pintu renta.

"Agama kita itu dibangun di atas lima rukun. Maksudnya, kita yang meyakini rukunnya harus bisa menghidupkan yang lima itu. Artinya, kita harus bisa bergigir lima seperti blimbing."
"Lunyu-lunyu pene'no kanggo mbasuh dodo tiro…" Tangan lembutnya membelai rambut panjangku. Senyumnya tak pernah lepas, dan itu yang membuatku nyaman, hingga selalu ingin dekat dengannya.
"Buat mencuci diri kita yang kotor karena dosa. Kalau blimbing bisa menghilangkan noda di baju, maka lima rukun agama bisa membersihkan dosa di diri kita."
"Caranya?"
"Caranya dengan beribadah yang betul, untuk tahu ibadah yang betul kita mesti rajin mengaji."
"Mengaji itu kan membosankan, bikin ngantuk."
"Memanjat pohon blimbing juga susah, itu sebabnya mesti dicoba terus menerus, sampai bisa."
"Kalau tidak mau mengaji?"
"Ya tidak akan tahu cara beribadah yang betul"
"Memangnya kenapa kalau kita tidak tahu caranya ibadah?"
"Manusia itu tempatnya salah dan lupa, Zahra! Kalau tidak dicuci dengan ibadah akan semakin lekat nodanya."
"Kalau tetap tidak mau mengaji?"
"Kalau kamu tidak mau belajar mengaji, nanti kamu tidak bisa main-main di taman surga, karena surga hanya boleh dimasuki oleh orang yang sudah bersih dari noda."
"Aku malas mengaji, karena Mas Iyashu dan Mbak Syakira bilang kalau salah dan susah menghafal Al-Qur'an, pasti tangannya dapat sabetan rotan dari Pak De Ja'far. Tapi Pak De Ja'far bilang, surga itu tempat terindah bagi anak-anak yang shaleh."

Aku sering tertawa sendiri jika ingat hal itu, betapa sempitnya cara berpikirku. Tapi aku suka, karena ternyata aku punya juga pengalaman konyol seperti itu.

"Aku ngajinya diajari Eyang aja. Kalau banyak yang salah, harus banyak dimaafkan!". Eyang kembali tertawa lepas. Kali ini dia sambil mengacak rambutku. Ditariknya aku ke pangkuannya. Dipeluknya erat sekali. Aku merasakan sesuatu yang hangat di antara terpaan angin yang mulai dingin karena sore segera berganti senja. "Coba lihat di sana, Zahra! Itu bundamu sedang mengaji Al-Qur'an. Ayo, belajar sama bunda!"
"Nggak mau ah, habisnya aku harus selalu pake kerudung, kayak Bunda."
"Itu tandanya bundamu pandai menjaga auratnya, dan Allah menjanjikan surga untuk semua wanita ikhlas yang menutup auratnya, termasuk kamu."

Aku masih menyimpan senyum bunda saat itu. Senyumnya menarikku untuk hadir di pangkuannya. Bunda pernah menghadiahiku kerudung jumputan berwarna hijau lembut untukku belajar mengaji. "Cantik!", sanjungnya. Walau dengan sedikit takut aku mulai belajar mempelajari lembar demi lembar Al-Qur'an kecil, sebelum akhirnya aku harus tetap belajar dengan Pak De Ja'far dan dapat sabetan rotan seperti nasib Mas Iyashu dan Mbak Syakira.

Tapi itu sudah bertahun lalu. Sekarang, ini adalah tahun kelima di mana baru kujejakkan kembali kakiku di Bumi Tanjung Kasih, di rumah Eyang. Aku pernah bertanya usil pada Eyang saat kami melintasi sebuah pohon belimbing yang sedang berbuah lebat di kebun kami.
"Yang, coba tebak apa yang dilakukan makhluk bergigir lima itu."
"Bersujud!", jawabnya.
Aku tersenyum kecil mendengarnya.

Shaf sungkeman kini ada pada giliranku. Aku memegang erat tangan Eyang dengan kuat. Ada titik bening yang jatuh di atas tangannya, bulir air mataku. Eyang mengangkat wajah keriputnya dan mengusap pipiku. Sambil mengangguk ia memelukku.

"Zahra sudah pulang, Yang! Zahra mohon maaf dan restu Eyang," bisikku terbata-bata. Membenamkan wajah haruku di bahu Eyang yang hangat.
Eyang mengusap lembut punggungku sambil berbisik, "Mari kita sama-sama bersujud, seperti belimbing, cah ayu!"

Aku terkesiap lalu tertawa bahagia. Ternyata Eyang masih begitu hafal dengan masa kecilku. Aku membantu Eyang berdiri, memapahnya menuju masjid yang gema takbirnya sama gagahnya dengan gema takbir di hati-hati kami, "Allahu Akbar wa Lillaahi alhamd!" (Ririe al Rasyid)[MQMedia.com]

Artikel dari KotaSantri.com
Seorang ayah sedang membungkus sejumlah kado yang akan dipersembahkannya kepada teman-temannya. Lalu, datanglah anak perempuannya yang masih kecil. Sang anak merengek kepada ayahnya, agar diberikan kertas kado. Maklum, anak kecil begitu tertarik dengan pernik-pernik kecil seperti kertas kado.

Tapi, sang ayah tak suka direngeki begitu. “Kamu buat apa? Nanti kamu buang,” kata ayahnya.

“Nggak kok, ayah. Aku nggak akan buang,” jawab si anak.

“Iya, tapi kamu buat apa?” tanya ayahnya lagi.

“Aku juga mau bungkus kado, kok ayah,” jawab si anak.

Lalu, sang ayah pun akhirnya memberikan selembar kertas kado kepada anaknya, sembari masih kesal juga. Dalam pikirannya, buat apa sih anak kecil main-main dengan kertas kado.

Seminggu setelah kejadian itu, anak perempuannya yang masih kecil bikin kejutan buat sang ayah. Pagi-pagi, anaknya membangunkan sang ayah.

“Ayah, bangun dong. Udah siang nih,” kata si anak.

Dengan malas, sang ayah menggeliat. “Ah, kamu jangan ganggu ayah, dong. Ayah masih ngantuk nih. Mau tidur sebentar dulu,” kata sang ayah.

Tapi, anaknya terus saja mengguncang badan sang ayah. “Ayah, ayo bangun dong. Aku punya kejutan untuk ayah,” ujar si anak.

Dengan berat, sang ayah membuka matanya. “Kejutan apa sih?” Tanya sang ayah.

Si anak memberikan sebuah kado kepada sang ayah. Bentuknya kotak kecil, dibungkus dengan kertas kado yang seminggu lalu diminta dengan merengek oleh putrinya.

Sang ayah lalu menerima bingkisan itu.

“Buka dong, ayah,” pinta putrinya.

Bingkisan pun dibuka. Isinya sebuah kotak kecil. Lalu, sang ayah pun membuka kotak kecil itu.

Betapa kagetnya sang ayah setelah kotak itu terbuka. Ternyata tidak ada isi apa-apa di dalamnya.

Setengah bersungut, sang ayah bicara kepada putrinya. “Maksudnya apa ini? Ayah kan sudah bilang, kertas kadonya jangan dibuang-buang.”

“Lho, aku kan nggak buang kertas kadonya, kok. Aku pakai untuk kado buat ayah,” jawab sang putri.

“Betul. Tapi, ini kan Cuma kotak kosong. Artinya, kamu buang-buang kertas kadonya, dong.”

“Ayah, kotak itu tidak kosong, kok.”

“Tidak kosong bagaimana?”

“Tadi, sebelum aku bungkus dengan kertas kado, aku sudah masukkan banyak sekali ciumanku ke dalam kotak itu. Ayah bisa ambil sesuka ayah ciumanku itu. Itu sebagai pertanda bahwa betapa sayangnya aku kepada ayah,” jawab sang putri panjang lebar.

Sang ayah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Lalu, dipeluknya putrinya yang lucu itu.

“Ayah janji deh, kotak ini akan ayah bawa setiap hari ke kantor. Kalau ayah kangen sama kamu, akan ayah buka. Lalu, ayah akan ambil satu ciuman darimu,” ujar sang ayah.


Jadi, kawan, sesuatu boleh saja tampak kosong. Tapi, belum tentu ia tanpa arti. Bisa saja ada yang menganggap kosong itu adalah sesuatu yang penuh. Mungkin, orang lain memang tidak melihatnya. Bukankah kita semua terlahir bagaikan kertas yang kosong?


============
dikutip dari sebuah milist

7 Mei 2005

Ya Allah...
Telah Engkau pertemukan aku
dengan seseorang yang dengan rendah hati
mengajarkanku dien-Mu
Seseorang yang dengan tulus
menawarkan kasih kepadaku
Seseorang yang amat kudamba
untuk bersama menggenapkan setengah dien kami

Ya Allah...
Lindungilah ia selalu
Mudahkanlah segala urusannya
Dan ijinkanlah ia tuk jadi imamku
dan keturunan-keturunanku
hingga akhir hayat

Semoga apa yang menjadi rencana kami
juga menjadi rencana-Mu
Ya Rahman...Ya Rahiim
Amiin

Met ultah cintaku:)
Terima kasih untuk limpahan cinta & kasih sayang selama ini
Miss U

on his 29th birthday

Idul Fitri 1425 H

Entah sudah berapa Ramadhan-ku yang kau warnai
Tak terlukiskan syukurku atas kehadiranmu
Harapku....
Jangan pernah lelah bimbing aku sayang
Di hari nan fitri ini...
Tulus ku bersimpuh...
Memohon maaf atas segala khilaf & dosa
Semoga...
Masih kan ada Ramadhan-ramadhan yang bisa kulalui bersamamu
Ana Uhibbuk Ya Habibi:)