Sunday, August 14, 2005

Seorang ayah sedang membungkus sejumlah kado yang akan dipersembahkannya kepada teman-temannya. Lalu, datanglah anak perempuannya yang masih kecil. Sang anak merengek kepada ayahnya, agar diberikan kertas kado. Maklum, anak kecil begitu tertarik dengan pernik-pernik kecil seperti kertas kado.

Tapi, sang ayah tak suka direngeki begitu. “Kamu buat apa? Nanti kamu buang,” kata ayahnya.

“Nggak kok, ayah. Aku nggak akan buang,” jawab si anak.

“Iya, tapi kamu buat apa?” tanya ayahnya lagi.

“Aku juga mau bungkus kado, kok ayah,” jawab si anak.

Lalu, sang ayah pun akhirnya memberikan selembar kertas kado kepada anaknya, sembari masih kesal juga. Dalam pikirannya, buat apa sih anak kecil main-main dengan kertas kado.

Seminggu setelah kejadian itu, anak perempuannya yang masih kecil bikin kejutan buat sang ayah. Pagi-pagi, anaknya membangunkan sang ayah.

“Ayah, bangun dong. Udah siang nih,” kata si anak.

Dengan malas, sang ayah menggeliat. “Ah, kamu jangan ganggu ayah, dong. Ayah masih ngantuk nih. Mau tidur sebentar dulu,” kata sang ayah.

Tapi, anaknya terus saja mengguncang badan sang ayah. “Ayah, ayo bangun dong. Aku punya kejutan untuk ayah,” ujar si anak.

Dengan berat, sang ayah membuka matanya. “Kejutan apa sih?” Tanya sang ayah.

Si anak memberikan sebuah kado kepada sang ayah. Bentuknya kotak kecil, dibungkus dengan kertas kado yang seminggu lalu diminta dengan merengek oleh putrinya.

Sang ayah lalu menerima bingkisan itu.

“Buka dong, ayah,” pinta putrinya.

Bingkisan pun dibuka. Isinya sebuah kotak kecil. Lalu, sang ayah pun membuka kotak kecil itu.

Betapa kagetnya sang ayah setelah kotak itu terbuka. Ternyata tidak ada isi apa-apa di dalamnya.

Setengah bersungut, sang ayah bicara kepada putrinya. “Maksudnya apa ini? Ayah kan sudah bilang, kertas kadonya jangan dibuang-buang.”

“Lho, aku kan nggak buang kertas kadonya, kok. Aku pakai untuk kado buat ayah,” jawab sang putri.

“Betul. Tapi, ini kan Cuma kotak kosong. Artinya, kamu buang-buang kertas kadonya, dong.”

“Ayah, kotak itu tidak kosong, kok.”

“Tidak kosong bagaimana?”

“Tadi, sebelum aku bungkus dengan kertas kado, aku sudah masukkan banyak sekali ciumanku ke dalam kotak itu. Ayah bisa ambil sesuka ayah ciumanku itu. Itu sebagai pertanda bahwa betapa sayangnya aku kepada ayah,” jawab sang putri panjang lebar.

Sang ayah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Lalu, dipeluknya putrinya yang lucu itu.

“Ayah janji deh, kotak ini akan ayah bawa setiap hari ke kantor. Kalau ayah kangen sama kamu, akan ayah buka. Lalu, ayah akan ambil satu ciuman darimu,” ujar sang ayah.


Jadi, kawan, sesuatu boleh saja tampak kosong. Tapi, belum tentu ia tanpa arti. Bisa saja ada yang menganggap kosong itu adalah sesuatu yang penuh. Mungkin, orang lain memang tidak melihatnya. Bukankah kita semua terlahir bagaikan kertas yang kosong?


============
dikutip dari sebuah milist